PENDEKAR KEHIDUPAN :
Sunday, September 28, 2003

 
MERTUA

"Bagaimana ibu, de ? Sudah baikan sekarang ?" Kataku, sambil pandangan mataku tidak lepas dari layar monitor, "Sepertinya mama mesti di rawat lebih lama mas. Jantungnya melemah" suara istriku pelan di ujung sana. "De, kamu jaga kondisi ya. Jangan lupa makan," sambungku. "Iyach mas, bagaimana kabar anak-anak ? Lalu kapan mas akan kesini" aku terdiam. "Insya Allah de, mas akan segera menyusul kesana. Anak-anak baik-baik saja, mereka sudah bisa mandiri," jawabku menenangkan. Sudah seminggu ini, istriku menengok ibu mertua yang sedang sakit keras. Ibu mertua tinggal jauh berbeda provinsi. Anak-anak tidak bisa ikut, karena mereka sedang menghadapai ujian sekolah, dan aku sendiri kerjaan menumpuk. Kalau di bilang baik-baik saja mungkin tidak benar juga, rumahku meskipun anak-anak dan aku kerahkan untuk membereskan rumah tetap saja, tidak senyaman ketika istriku ada. Apalagi dirumah aku tidak memiliki pembantu.

Sejak menelepon itu, aku tidak lagi bisa konsentrasi dengan segala tugas kantor. Pikiranku melayang ke masa sepuluh tahun silam, ketika aku memberanikan diri untuk menikahi seorang gadis, tanpa modal sesen pun di kantongku. Seperti biasanya mana ada orang tua yang mau menyerahkan anak gadisnya, kepada tipe orang sepertiku, rupa, harta dan keturunan yang menjadi patokan orangtua tidak lah aku miliki. Masih beruntung juga ada gadis yang mau denganku, pikirku waktu itu. Segala rintangan aku tempuh, mungkin bisa di bilang nekat juga. Kadang kalau membayangkan masa-masa ketika menjelang pernikahan kami, aku sendiri kaget kenapa bisa senekat itu. Hal terpenting adalah jangan melanggar hukum, baik hukum agama maupun hukum negara, pikirku, makanya aku jalan terus. Jadi segala cobaan, di awal-awal pernikahan kami, aku jalani dengan penuh kesabaran, yang penting berhasil menikahi seseorang yang terbaik untuk di jadikan calon ibu, dari anak-anakku dan tentunya jadi pendamping hidupku.

Teringat di awal-awal pernikahan kami, istriku sering menangis sendirian. Merasa sepi ditinggal di rumah, namun dihadapanku, dia tidak pernah mengeluh sedikitpun. Aku faham jangankan bagi orang seperti dia, mungkin semua perempuan pun akan begitu ketika di wal-awal berpisah dengan keluarga. Namun kesepiannya berkurang ketika dia mulai menyibukan diri dengan berbagai kegiatan, ikut kursus dan masuk ke sebuah perguruan tinggi. Itu setelah keuangan kami mencukupi. Aku mau istriku maju, seandainya punya potensi untuk berbuat dari hanya mengurus rumah tangga, aku selalu mendorongnya untuk maju. Namun kuwanti-wanti semuanya mesti di jalankan dengan ikhlas, dan tetap mendahulukan urusan rumah tangga. Aku sendiri, segala pekerjaan aku coba, baik kerja kasar sampai aku berhasil menempati posisi lumayan di kantor sekarang. Kebahagiaan semakin lengkap dengan lahirnya jundi-jundi. Alhamdullilah anak-anak lahir dengan usia agak renggang. Aku sekarang baru memiliki dua anak, kebayang bagaimana super sibuknya istriku. Dan aku sendiri semakin kerja keras, untuk menutupi biaya-biaya, kemurahan Allah semuanya dapat tertutupi, bahkan kami dapat mencicil rumah kecil yang kini kami huni berlima.

Sepuluh tahun kami terpisahkan dari keluarga. Sampai suatu waktu ada telpon mengabari mertua yaitu ibu istriku sakit, dan ini pertama kalinya anak-anak kami di undang ketemu neneknya, seperti pula menantunya.
 

N. Ali Akbar/Male/26. Lives in Indonesia/west java/bandung, speaks Indonesian and English. Eye color is black. I am average looking. I am also ambitious. My interests are shorinji kempo/reading.
This is my blogchalk:
Indonesia, west java, bandung, Indonesian, English, N. Ali Akbar, Male, 26, shorinji kempo, reading.

My Feel today: The current mood of n3ndy at www.imood.com

Brown Belt WSKO (World Shorinji Kempo Organization)

"If all the trees in the earth were pens, and the sea, with seven more seas to replenish it (with ink), the Words of Allah would never end. Allah is the Almighty, the Wise" (QS Lukman : 27)

This page is powered by Blogger