PENDEKAR KEHIDUPAN :
Thursday, September 30, 2004

 
Jika apa yang ada dalam tulisan ini adalah terjadi, masihkah berebut kekuasaan itu penting? Perubahan cepat atau lambat pasti akan terjadi. Saya harap perubahan di Indonesia adalah perubahan yang baik, sehingga kita akan mempunyai kebanggaan sebagai warga negara Indonesia. Jika negara ini hapus dalam peta dunia, lalu kelak akan muncul negara baru, mudah-mudahan sich sebesar dan seluas sekarang, lalu namanya yang bagus apa yach? Simak dech tulisan ini.

Lima Skenario Terburuk Bagi Indonesia
Oleh Y. HERMAN IBRAHIM

SAYA tidak tahu apakah tulisan ini merupakan sebuah makar dalam pemikiran yang di Era Orde Baru bisa dikategorikan subversif ataukah hanya sebuah wacana yang bersifat diskursif. Akan tetapi, saya memang pernah mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa jika Allah menghendaki, jangankan sebuah negara, bahkan sebuah bangsa pun bisa musnah dalam sejarah. Umat Nabi Luth dan Nabi Nuh adalah contoh bangsa yang dimusnahkan dan kisah kehancurannya diabadikan dalam Alquran, sedangkan berbagai negeri seperti Padjadjaran, Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan lain sebagainya, bubar berantakan dalam sejarah politik dan kemanusiaan di wilayah nusantara ini.

Oleh karena itu, janganlah kita berpikir bahwa yang namanya Republik Indonesia itu bisa langgeng dan abadi sampai hari kiamat.

Kehancuran sebuah negara sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh faktor internal ketimbang faktor eksternal. Hancur dan tumbangnya kerajaan dan raja-raja di Jawa lebih diakibatkan oleh hawa nafsu dan konflik di antara para elite kerajaan ketimbang penyebab lain, misalnya konflik horizontal diantara rakyatnya sendiri. Raja-raja Jawa berebut kekuasaan dan untuk mencapai tujuannya mereka tega menggadaikan wilayah kekuasaannya kepada penjajah Belanda. Itulah sebabnya, saya pernah berkata bahwa yang menyebabkan rakyat menderita dan terjajah sekian lama sebenarnya bukan Belanda, melainkan para elite penguasa atau raja-raja Jawa itu sendiri.

Melihat keadaan sekarang, ada seorang ustaz yang tidak pernah tersentuh oleh pengaruh kekuasaan, mengatakan bahwa negara dan bangsa Indonesia ini tampaknya sedang diazab oleh Allah karena perilaku buruk penguasa dan sebagian besar masyarakatnya. Itulah sebabnya berbagai doa bersama dan istighosah tidak pernah mempan dan dikabulkan oleh Allah karena dipenuhi oleh kemunafikan, kemusyrikan, dan pelanggaran syariat.

Tengok saja perilaku penguasa yang lebih memikirkan bagaimana kekuasaan bisa dilanggengkan daripada memikirkan nasib rakyatnya sendiri. Untuk kepentingan Pemilu 2004 misalnya semua partai politik berlomba-lomba menghimpun dana yang jika perlu menghalalkan segala cara dengan melanggar aturan perundang-undangan. Partai pemerintah yang berkuasa, bahkan dicurigai bermesraan dengan IMF dan "konglomerat hitam" tanpa sedikit pun ada kepekaan terhadap nasib rakyat yang dilanda berbagai penderitaan. Baru setelah media ribut dan rakyat berdemo, pemerintah sibuk secara reaktif seperti halnya kasus terdamparnya ribuan TKI di Nunukan.

Berbagai gejolak sosial dan kerusuhan akibat dari diskriminasi dan ketidakadilan selama ini tidak dipecahkan dengan cara memperbaiki hukum dan membasmi korupsi. Doa bersama atau anjuran kedamaian, kesejukan yang ditulis pada spanduk atau memanfaatkan ulama bayaran, tidak banyak menolong.

Skenario buruk Indonesia

Ada sejumlah alasan yang bisa dikemukakan tentang kemungkinan lahirnya beberapa skenario Indonesia 10-20 tahun ke depan. Skenario itu dimulai dari hal yang buruk sampai pada hal yang paling buruk yakni hilangnya apa yang disebut Negara RI dalam peta politik dunia.

Kita tidak punya falsafah dan ideologi yang mampu menjelaskan mengapa kita harus bernegara Indonesia. Pancasila hanya ada dalam kelas-kelas sekolah dan tidak bisa menjawab mengapa di negeri Komunis gaji buruhnya bisa lebih baik dari negeri yang konon berazaskan keadilan sosial ini. Kinerja Megawati diprediksi hanya memperdalam luka ketidakadilan sosial, ekonomi yang telah lama terjadi.

Sejak krisis, kita tidak pernah bisa bangkit karena pola yang digunakan tetap sama, yakni utang dan penggerogotan sumber daya alam. Kemandirian yang bersumber dari konsep interkoneksitas antardaerah dan perdagangan indigenous antarpulau tidak dibantu oleh negara. Pemerintah hanya memikirkan konglomerat karena dari sana penguasa bisa melakukan black mail bagi kepentingan individu atau institusinya. Oleh karena itu, agak aneh tatkala Megawati bertanya kepada konstituennya di Bali mengenai kesiapan rakyat untuk mandiri, sedangkan pemerintah tidak pernah menunjukkan semangat dan watak kemandirian itu.

Di bidang politik, Indonesia terus-menerus berada dalam tekanan global untuk selalu bersikap keras terhadap Islam. Ini aneh karena mayoritas orang Indonesia beragama Islam. Koalisi politik dalam kabinet Megawati dan juga pemerintahan yang akan datang (karena tidak ada mayoritas tunggal) bersifat semu atau kuasi belaka, sedangkan oposisi tidak diatur dan diwadahi dalam konstitusi.

Keadaan ini akan terus-menerus menimbulkan kekacauan dan ketidakpuasan politik antarelite maupun antara pusat dan daerah. Oposisi tidak datang dari partai politik yang kalah dalam pemilu, tapi juga dari kelompok-kelompok etnis dan Islam yang merasa selalu terpinggirkan. Kalangan buruh, tani, dan nelayan miskin menjadi kekuatan sendiri melawan pemerintah. Kekacauan politik akan terus terjadi dan berpengaruh luas pada aspek-aspek lain terutama aspek ekonomi, sosial, dan keamanan. Tinjauan berikutnya ada pada dua kekuatan pokok masyarakat bangsa di Indonesia ini, yakni Islam dan tentara.

Islam akan terus-menerus mengalami demoralisasi akibat tekanan global terhadap pemerintah RI. Di kalangan Islam sendiri terjadi perpecahan ideologis antara kekuatan Islam sekuler liberal yang pro-Barat (Islib) dengan Islam Syariat yang militan menentang dominasi dan hegemoni Barat. Dalam jangka panjang militansi Islam akan semakin kuat sejalan dengan berbagai kesalahan kebijakan, salah urus, dan ketidakadilan negara yang menimpa rakyat mayoritas.

Sementara itu, faktor tentara akan terus menjadi pemain di belakang layar atas berbagai konflik dan persengketaan politik di Indonesia. Tentara dilirik masyarakat sebagai kekuatan yang bisa menjamin rasa aman, maka menjadi kewajiban bagi militer untuk kembali ke politik kekuasaan. Perlawanan kekuatan demokrasi sipil tidak banyak berarti mengingat isu global telah bergeser dari demokrasi dan HAM kepada isu tentang terorisme internasional.

Determinasi kekuatan global serta gejala ekonomi, politik, Islam, dan militer akan mendorong Indonesia ke dalam skenario sebagai berikut.

Skenario kesatu, melanjutkan konsolidasi demokrasi yang terus-menerus terganggu oleh berbagai bentuk mistifikasi kepemimpinan partai politik dan keinginan mengembalikan sentralisasi kekuasaan atas dasar argumen ancaman disintegrasi. Demokrasi sekuler juga akan berhadapan dengan kekuatan Islam militan yang terus-menerus memperjuangkan tegaknya syariat Islam dengan atau tanpa proses di parlemen. Hubungan sipil-militer akan bergeser pada penguatan pihak militer yang tentu saja bisa menjadi faktor penghambat konsolidasi demokrasi. Berbagai alasan kemungkinan kembalinya politik tentara antara lain karena ketergantungan yang tinggi penguasa sipil pada militer atas persoalan keamanan, gejolak sosial, dan terorisme.

Skenario kedua, kembalinya tentara dalam politik. Meskipun secara institusional militer lebih menyukai peranan di belakang layar, tetapi hasrat individu para pemimpin tentara sulit ditebak. Keadaan yang berubah cepat dengan kekacauan dan anarkisme membangkitkan tuntutan rakyat akan pentingnya aturan dan hak otorisasi mengatasi gejolak itu. Kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Dengan segala risiko tertentu pemerintahan militer yang eksesif bisa kembali dengan atau tanpa dukungan pihak asing. Sebuah negosiasi global diperlukan untuk membenarkan militer berkuasa atas sebuah alasan menghindari perang sipil yang akan menimbulkan banyak korban dan problem kemanusiaan.

Skenario ketiga, revolusi Islam. Perebutan kekuasaan bisa terjadi tanpa peran militer, dalam arti tentara mengambil jarak di antara kekuatan-kekuatan politik. Pertimbangan itu bisa terjadi tatkala dalam tubuh militer terjadi faksi-faksi yang memiliki orientasi politik yang berbeda. Meskipun kemungkinannya sangat kecil, kekuatan Islam menjadi faktor penentu dalam perebutan kekuasaan jika dalam jangka waktu yang memadai mampu menanamkan nilai yang bersifat ideologis. Dalam kondisi itu organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah harus berada di bawah kepemimpinan Islam syariat dan bukan Islam liberal seperti yang terjadi saat ini. Pada skenario ini syariat Islam diuji untuk bisa memperbaiki keadaan dibidang ekonomi, politik, sosial, hukum, dan kebudayaan. Sebuah projek yang akan mendapat tantangan besar dari kekuatan global sebagaimana terhadap Taliban di Afghanistan. Kendati demikian, tentu saja skenario ini bukan hal yang buruk jika syariat Islam benar-benar ditegakkan bagi kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat Indonesia.

Skenario keempat, bangkitnya federalisme atau radikalisasi otonomi daerah. Masyarakat di daerah atas dorongan elite di tingkat nasional bisa bangkit dalam semangat federalisme atau radikalisasi otonomi. Ketidakpuasan terhadap kebijakan pusat telah menciptakan tekanan sentrifugal yang menciptakan kekuatan-kekuatan baru di luar partai politik, yakni masyarakat daerah. Model Yugoslavia, Soviet, dan Cekoslovakia adalah inspirasi dari kekuatan-kekuatan baru itu yang tidak mengandalkan determinasi politik di Ibu Kota. Pemerintahan pusat yang nominal bisa disepakati untuk urusan-urusan yang menyangkut hubungan luar negeri. Radikalisasi otonomi akan mengembalikan identitas Indonesia sebagai negara bangsa yang multietnis serta menghilangkan dominasi Jawa dalam segala aspeknya.

Skenario kelima, hilangnya negara Indonesia dari peta dunia akibat perpecahan disintegratif secara total. Skenario ini adalah yang terburuk dan bisa saja terjadi tatkala kekacauan terus-menerus terjadi, dan putusnya hubungan ekonomi politik antarpusat dengan daerah. Kehancuran negeri ini juga bisa terjadi akibat colaps-nya ekonomi, jatuhnya militer serta kejahatan dalam skala besar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok anarkis yang tidak terkendali.

Kelompok separatis akan memanfaatkan situasi dengan memberikan tekanan serta pelaksanaan agenda-agenda yang selama ini mereka sembunyikan. Dukungan dari pihak luar kepada RI sudah hampir tidak ada sementara negara ASEAN tidak memberikan kontribusi terhadap stabilitas wilayah akibat problem yang mereka hadapi sendiri. Wilayah nusantara akan terpecah bisa atas dasar wilayah etnis atau wilayah agama. Jika yang terakhir yang terjadi, apa yang diramalkan oleh Aroyo Macapagal bisa menjadi kenyataan. Persoalannya akankah umat Islam di nusantara ini bersatu menghadapinya. Hal ini penting karena disintegrasi bangsa secara total hanya mungkin dicegah oleh bersatunya umat Islam. Oleh karena itu, pemerintah mana pun yang berkuasa di negeri ini tidak boleh terus-menerus mengabaikan dan memojokkannya seperti yang selama ini terjadi. Wallahu'alam bish shawab.***
 

N. Ali Akbar/Male/26. Lives in Indonesia/west java/bandung, speaks Indonesian and English. Eye color is black. I am average looking. I am also ambitious. My interests are shorinji kempo/reading.
This is my blogchalk:
Indonesia, west java, bandung, Indonesian, English, N. Ali Akbar, Male, 26, shorinji kempo, reading.

My Feel today: The current mood of n3ndy at www.imood.com

Brown Belt WSKO (World Shorinji Kempo Organization)

"If all the trees in the earth were pens, and the sea, with seven more seas to replenish it (with ink), the Words of Allah would never end. Allah is the Almighty, the Wise" (QS Lukman : 27)

This page is powered by Blogger